
ilustrasi
Oleh: M. Risfan Sihaloho
Kesepakatan negosiasi dagang Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mencakup transfer data pribadi dari Tanah Air ke negeri Paman Sam belakangan ramai menjadi sorotan publik.
Berawal dari Gedung Putih yang merilis video Presiden AS Donald Trump yang membocorkan poin-poin kerja sama perjanjian dagang dengan Indonesia mengenai tarif resiprokal. Salah satu poinnya adalah komitmen transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat. Gedung Putih melalui pernyataan resminya, menyatakan Indonesia akan menyediakan kepastian terhadap kemampuan memindahkan data pribadi ke AS.
Banyak pihak menilai, kesepakatan itu sangat riskan dan sangat berpotensi merugikan Indonesia. Kendati pemerintah sudah memastikan komitmen transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat tidak dilakukan sembarangan, namun tetap hal ini masih menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat.
Aset Paling Berharga
Di era digital yang serba terhubung ini, data penduduk bukan sekadar deretan angka dan huruf—melainkan aset strategis sebuah negara. Di tengah persaingan global yang kian ketat, keamanan data pribadi warga menjadi hal yang sangat vital. Bukan hanya untuk menjaga privasi, tetapi juga untuk melindungi kedaulatan dan stabilitas nasional.
Data penduduk mencakup informasi sensitif seperti identitas, lokasi, riwayat kesehatan, ekonomi, hingga preferensi sosial. Dengan data inilah pemerintah dapat merancang kebijakan, menyusun program bantuan, dan memantau dinamika sosial secara real time. Singkatnya, data adalah fondasi utama dalam pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).
Namun, di tangan pihak yang salah, data ini bisa menjadi alat manipulasi, pengawasan, bahkan senjata geopolitik. Kebocoran data bukan hanya mencederai individu, tapi juga melemahkan posisi negara dalam percaturan global.
Ancaman Nyata di Balik Dunia Maya
Beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan bagaimana kebocoran data bisa menimbulkan kekacauan. Mulai dari skandal Cambridge Analytica yang memengaruhi hasil pemilu, hingga serangan siber terhadap instansi pemerintahan dan infrastruktur vital di berbagai negara. Bahkan, serangan semacam itu kerap berasal dari negara atau kelompok asing dengan kepentingan tertentu.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai insiden kebocoran data, mulai dari data SIM, BPJS Kesehatan, hingga registrasi aplikasi digital. Celah keamanan dan lemahnya tata kelola data menjadi tantangan besar yang belum sepenuhnya ditangani.
Kedaulatan Digital
Melindungi data penduduk sama halnya dengan menjaga kedaulatan digital. Negara yang tidak mampu mengamankan data warganya akan mudah didikte oleh kepentingan asing, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial.
Kedaulatan digital mencakup kontrol penuh atas data, infrastruktur digital, serta regulasi yang melindungi hak dan privasi warga. Ini juga berarti membangun sistem keamanan siber yang kuat, mendorong literasi digital, dan mengembangkan teknologi dalam negeri agar tidak bergantung pada pihak luar.
Setidaknya, ada beberapa langkah strategis yang harus diambil untuk menjamin keamanan data kependudukan.
Pertama, membuat regulasi kuat dan tegas. Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) harus ditegakkan secara konsisten. Tidak cukup hanya dengan sanksi administratif—pelanggaran berat harus dihadapi dengan hukuman pidana.
kedua, mewujudkan kemandirian teknologi. Maksudnya, penggunaan teknologi asing dalam sistem kritikal harus dikaji ulang. Kemandirian digital perlu dibangun melalui investasi dalam riset, pengembangan, dan talenta digital lokal.
Ketiga, membangun kolaborasi dan transparansi. Dalam hal ini, pemerintah perlu membangun ekosistem keamanan digital yang melibatkan sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Transparansi dalam penanganan insiden kebocoran data juga penting agar publik tidak kehilangan kepercayaan.
Keempat, Menguatkan literasi dan kesadaran masyarakat. Artinya, masyarakat harus dilibatkan sebagai garis pertahanan pertama. Literasi digital yang memadai akan membantu individu lebih bijak dalam mengelola dan melindungi data pribadinya.
Penutup
Di masa depan, perang tidak selalu ditandai dengan senjata dan tentara—tapi juga dengan serangan digital dan pencurian data. Negara yang mampu mengamankan data penduduknya adalah negara yang mampu bertahan dan bersaing dalam dunia yang makin terotomatisasi dan terdigitalisasi.
Mengamankan data adalah melindungi bangsa. Dan kini, lebih dari sebelumnya, waktunya kita bersikap serius dan tegas. (*)