
SUPREMASI.ID~Medan || Polemik terkait kepemilikan empat pulau yang dipantik oleh Keputusan Menteri dalam negeri nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau yang di tetapkan pada 25 april 2025 telah memancing kegaduhan publik dan dapat mengancam disintegrasi bangsa.
Situasi ini mendapat tanggapan serius dari para aktivis 98, yang di sikapi dengan kunjungan dan pertemuan khusus antara pimpinan lintas Eksponen 98 sumut dengan pimpinan Lintas Eksponen 98 Aceh untuk membahas dan menyampaikan pernyataan sikap bersama.
Pertemuan berlangsung di kafe Tanaka Belawan, Senin, 16 juni 2025.
Pada pertemuan tersebut, Koordinator Lintas Eksponen 98 Sumatera Utara, R. Khairil Chaniago menilai, bahwa Keputusan administratif Mendagri dianggap sebagai tindakan yang tidak mengindahkan spirit rekonsiliasi antara Aceh dengan Pusat. Dan itu bisa dianggap sebagai embrio patologi kebijakan politik atau penyakit /penyimpangan prilaku dalam mengambil kebijakan politik yang dapat mengganggu fungsi tatanan sosial masyarakat dan stabilitas sosial akibat pengaruh kekuatan politik yang tidak sehat.
“Untuk itu kekisruhan ini harus segera diselesaikan oleh pimpinan negara guna mencegah konflik yang lebih luas lagi, karena stabilitas sosial didalam sebuah negara itu lebih penting daripada Pembangunan dan investasi,” tegasnya.
Menurut Khairil, ada hal yang perlu di renungkan oleh pemerintah pusat, bahwa Gerakan Reformasi 98 muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem tata kelola dan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada konglomerasi atas nama investasi.
“Untuk itu presiden Prabowo diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan keberpihakan yang besar kepada kaum oligarki. Jadi jangan mengorbankan stabilitas nasional maupun stabilitas wilayah hanya karena kepentingan sebuah investasi yang hanya menguntungkan oligarki,” tegas Khairil.
Sementara itu Koordinator Presidium Lintas Eksponen 98 Aceh, Johansyah.ST/Reno menganggap polemik ini akan bias terhadap psikis masyarakat Aceh secara menyeluruh. Karena bagi bangsa Aceh, hal ini bukan hanya persoalan pengelolaan pulau dan sumber daya alam saja, tetapi lebih kepada persoalan harga diri dan kedaulatan wilayah administratif yang bertahun-tahun diakui Sebaai milik rakyat aceh, serta bagaimana perlakuan negara terhadap aceh pasca perdamaian.
Lebih lanjut disampaikan oleh Johansyah, bahwa rakyat Aceh saat ini baru sembuh dari luka yang sangat dalam, maka kiranya semua pihak khususnya pemerintah pusat jangan lagi merobek luka lama itu. “Karena traumatik masih bersemayam di pikiran dan jiwa rakyat Aceh,” ujarnya.
Sejak dulu, kata Johansyah, harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Aceh dan Sumut sudah terbentuk secara alamiah. Bahkan dimasa konflik pun masyarakat Aceh tidak pernah bersinggungan dengan masyarakat Sumut.
“Kedamain diantara kedua propinsi terbangun tanpa rekayasa, maka kerukunan ini jangan di rusak oleh sebuah Keputusan Mendagri yang kami sinyalir syarat dengan rekayasa. Karena kami melihat Keputusan kemendagri tersebut bertentangan dengan undang-undang nomor 24 tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara, serta Akta Perdamaian Helsinki,” jelas Johansyah. ST
Menutup pertemuan tersebut, kedua pimpinan presidium Lintas Eksponen 98 Sumut dan Aceh sepakat untuk menyampaikan sebuah “Pernyataan Sikap Bersama” yang berisi beberapa hal.
Pertama, meminta kepada Presiden Prabowo sebagai pimpinan tertinggi negara yang memiliki kewenangan tertinggi di dalam struktur pemerintahan negara, untuk sesegera mungkin memutuskan langkah terbaik dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah yang melibatkan 4 pulau antara provinsi Aceh dan provinsi Sumatera Utara, berdasarkan kepada fakta sejarah, dokumen administratif yang memiliki aspek hukum, pemetaan, pengelolaan pulau dan layanan publik yang telah dilakukan selama ini.
Kedua, Lintas Eksponen 98 Sumatera Utara dan Lintas Eksponen 98 Aceh menghimbau kepada masyarakat Sumatera Utara dan Masyarakat Aceh untuk selalu menjaga kerukunan sosial yang selama ini telah terbangun secara alamiah di kedua provinsi, demi kondusifitas wilayah dan masyarakat yang saling bertetangga satu sama lainnya.
(*)