
Ilustrasi Hasto Kristiyanto duduk di kursi pesakitan
SUPREMASI.id ~ Dukungan sejumlah figur publik terkemuka seperti Romo Franz Magnis Suseno, Sulistyowati Irianto, dan Marzuki Darusman kepada Hasto Kristiyanto, terdakwa kasus korupsi dan obstruction of justice, telah memicu gelombang kritik dan sorotan tajam.
Amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang mereka sampaikan kepada majelis hakim menjelang vonis ini dinilai sebagai ekspresi kebingungan moral dan kemunduran akal sehat intelektual, bukan sekadar dukungan biasa.
Salah satu suara paling keras datang dari Shohibul Anshor Siregar, Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN). Dalam pernyataannya pada Kamis (24/7), Siregar mempertanyakan motif dan konsistensi para intelektual tersebut.
“Bagaimana mungkin Romo Franz Magnis Suseno, Sulistyowati Irianto, dan Marzuki Darusman, tiba-tiba memosisikan diri sebagai pembela bagi seorang figur yang selama menjadi bagian dari kekuasaan justru tidak tersentuh hukum?” tegas Siregar, menyoroti inkonsistensi sikap yang membingungkan publik.
Inkonsistensi Moral dan Dugaan Politisasi
Kritik utama yang dilontarkan Siregar terletak pada dugaan inkonsistensi moral. Menurutnya, Hasto Kristiyanto, yang selama ini menikmati kekuasaan dan cenderung “tidak mampu memahami makna kejujuran dan keadilan,” kini justru dibela seolah-olah menjadi korban politik.
Pertanyaan yang mengemuka adalah, “Hubungan apa yang selama ini tak terbaca publik antara mereka dengan Hasto?” Ini bukan sekadar sentimen pribadi, melainkan sorotan terhadap potensi adanya kepentingan tersembunyi atau bias yang tidak transparan.
Lebih lanjut, Siregar dengan tegas menyatakan bahwa tindakan para penyumbang amicus curiae ini bukanlah ekspresi pendekatan socio-legal yang objektif, melainkan bentuk politisasi demi kepentingan figur tertentu.
Ini mencerminkan “kemerosotan etika” di mata sebagian kalangan. Tuduhan politisasi ini diperkuat dengan timing dukungan yang sangat berdekatan dengan pembacaan vonis pada 25 Juli 2025, yang dinilai sebagai bagian dari tekanan moral dan politis terhadap majelis hakim.
Amicus Curiae dan Batasan Intervensi Peradilan
Prinsip amicus curiae sejatinya adalah instrumen mulia dalam sistem peradilan untuk memberikan pandangan atau informasi yang relevan kepada hakim, guna membantu majelis hakim dalam membuat keputusan yang adil dan berimbang.
Namun, Siregar mengingatkan bahwa amicus curiae tidak boleh menjadi alat untuk mengintervensi independensi peradilan.
“Apalagi jika diajukan oleh mereka yang memiliki public standing tertentu baik sebagai orang yang selalu memperkenalkan diri sebagai filsuf, sebagai akademisi, atau sebagai mantan pejabat hukum,” tegasnya.
Hal ini menjadi krusial karena public standing yang melekat pada nama-nama tersebut berpotensi menimbulkan persepsi intervensi atau tekanan yang tidak sehat terhadap independensi hakim.
Refleksi Sejarah: Selektivitas dan Konsistensi dalam Pembelaan Keadilan
Sorotan terhadap Romo Franz Magnis Suseno, Sulistyowati Irianto, dan Marzuki Darusman ini bukan kali pertama terjadi dalam sejarah advokasi dan aktivisme di Indonesia. Sejarah mencatat banyak kasus di mana tokoh-tokoh intelektual dan aktivis memberikan dukungan atau pembelaan terhadap individu atau kelompok yang terjerat masalah hukum.
Namun, konsistensi moral dan non-selektivitas dalam pembelaan nilai-nilai keadilan menjadi garis demarkasi yang penting.
Sebagai perbandingan, di masa lalu, banyak tokoh yang secara konsisten membela korban pelanggaran HAM atau individu yang terpinggirkan tanpa memandang afiliasi politik atau posisi kekuasaan mereka.
Misalnya, pada masa Orde Baru, banyak intelektual dan akademisi yang gigih membela para aktivis demokrasi dan korban represif pemerintah, meskipun hal itu berisiko bagi diri mereka sendiri. Pembelaan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip universal keadilan dan hak asasi manusia, bukan pada pertimbangan politis atau kedekatan personal.
Kritik Siregar terhadap Romo Magnis, Sulistyowati, dan Marzuki Darusman menyinggung titik krusial ini. Jika demokrasi dan supremasi hukum memang menjadi nilai yang diperjuangkan, maka integritas moral harus konsisten, bahkan terhadap tokoh dari partai yang pernah berada di lingkar kekuasaan.
Ini mengingatkan pada adagium Fiat justitia ruat caelum – biarlah keadilan ditegakkan, sekalipun langit runtuh. Pembelaan terhadap keadilan seharusnya tidak mengenal sekat kekuasaan atau afiliasi politik.
“Mengaku independen, tapi membela tokoh partai penguasa yang kini mulai terjerat hukum, itu bukan hanya kontradiksi, tapi juga penyesatan publik,” pungkas Siregar.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kredibilitas seorang intelektual atau figur publik terletak pada konsistensi sikap dan keberanian untuk memihak pada kebenaran, terlepas dari siapa pun yang terlibat. Kasus Hasto Kristiyanto ini, dengan segala dinamikanya, menjadi ujian bagi integritas moral dan akal sehat intelektual di tengah pusaran politik dan hukum Indonesia.(*)