Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara (Kanwil Kemenkumham Sumut) menyelenggarakan Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertajuk “Pemahaman Substansi dan Implikasi Terhadap Penegakan Hukum Nasional”. Kegiatan ini digelar secara hybrid melalui Zoom Meeting serta disiarkan langsung oleh TVRI Sumut.
Acara tersebut menghadirkan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum sebagai keynote speech. Turut hadir Kepala Kanwil Kemenkumham Sumut Ignatius Mangantar Tua Silalahi, S.H., M.H., serta dua narasumber utama yaitu Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Assoc. Prof. Dr. Faisal, S.H., M.Hum dan Tenaga Ahli Komisi III DPR RI Dr. Afdhal Mahatta, S.H., M.H.
Dalam paparannya, Assoc. Prof. Dr. Faisal menjelaskan bahwa Indonesia akan segera memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP sebagai regulasi baru yang menggantikan KUHP warisan kolonial. Ia menegaskan bahwa KUHP merupakan hukum dasar yang mengatur perbuatan pidana, pelaku, ancaman sanksi, serta pedoman pelaksanaannya.
“KUHP baru hadir dengan struktur dan pendekatan yang berbeda. Selain memuat aturan umum, kejahatan, dan pelanggaran, berbagai konsep pembaruan juga ditanamkan agar masyarakat mengetahui perubahan yang terjadi,” ujarnya.
Faisal menekankan bahwa implementasi KUHP baru memerlukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat, akademisi, media, serta pelatihan intensif kepada aparat penegak hukum (APH). Hal ini penting karena KUHP baru membawa perubahan mendasar, termasuk dalam filosofi, asas, hingga jenis pemidanaan.
Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah perlu segera menyusun berbagai peraturan turunan seperti ketentuan tentang pidana denda, pidana kerja sosial, serta implementasi prinsip living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
Meski demikian, Faisal tak menampik adanya sejumlah tantangan. Salah satunya terkait kepastian hukum pada frasa “hukum yang hidup” yang dinilai multitafsir. “Tidak ada batasan jelas mengenai hukum adat mana yang dapat dipidanakan dan wilayah berlakunya. Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir dalam praktik penegakan hukum,” jelasnya. Ia juga menyoroti isu-isu lain seperti ketentuan terkait santet hingga ruang kewenangan aparat penegak hukum.
Menutup sesi pemaparan, Faisal berharap penerapan KUHP baru dapat mewujudkan sistem hukum pidana nasional yang lebih modern, humanis, dan berkeadilan restoratif. “KUHP baru ini harus menjadi fondasi hukum pidana yang berlandaskan nilai Pancasila dan benar-benar menggantikan warisan kolonial Belanda,” tegasnya.
Sosialisasi ini diharapkan menjadi momentum penting untuk memperkuat pemahaman publik sekaligus memastikan transisi menuju KUHP baru berjalan efektif dan tepat sasaran.
