Oleh: Apdal Hutabarat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen fiskal fundamental bagi pemerintah daerah di Indonesia, sebagai rencana keuangan tahunan yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan melalui Peraturan Daerah. APBD memegang peran krusial dalam mengelola keuangan daerah untuk membiayai pelayanan publik, mendorong pembangunan, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sumber penerimaan APBD berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Namun, ketergantungan pada Dana Perimbangan dari pemerintah pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) masih sangat dominan, menyumbang lebih besar dari total pendapatan asli daerah. Sementara itu, PAD yang bersumber dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan representasi kemampuan finansial otentik daerah.
Dalam konteks inilah, kerentanan APBD terhadap penyalahgunaan dan kejahatan keuangan muncul. Sebagaimana diatur dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, didefinisikan sebagai perbuatan menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan asal (predicate crime) melalui serangkaian tahapan: penempatan (placement), pelapisan (layering), dan pengintegrasian (integration). APBD dengan aliran dana yang masif dan kompleks, dapat dengan mudah menjadi objek atau sasaran dalam proses pencucian uang tersebut.
Kejahatan asal yang paling sering dikaitkan dengan APBD adalah tindak pidana korupsi, khususnya yang melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah. Sebuah modus operandi yang kembali viral dan terungkap belakangan ini adalah praktik penempatan dana APBD dalam bentuk deposito bank oleh kepala daerah dengan bunga bank yang menggiurkan. Meskipun tampak sebagai skema baru, praktik semacam ini sesungguhnya telah berlangsung lama dan bersifat periodik. Dalam modus ini, dana APBD seringkali berasal dari transfer pemerintah pusat ditempatkan di bank, bunga atau bagi hasil yang diperoleh dari deposito tersebut, yang seharusnya dicatat sebagai pendapatan kas daerah, justru dialihkan untuk kepentingan pribadi para kepala daerah.
Pengalaman empiris penulis yang pernah bekerja di Bank Swasta Nasional pada tahun 2013 memperkuat dugaan ini. Dalam rapat internal bank dengan agenda funding, yang membahas kerja sama penempatan sebagian dana APBD secara deposito oleh kepala daerah, dan akhirnya batal, dikarenakan tujuannya untuk kepentingan pribadi dan pihak bank pada saat itu tidak sepakat. Terungkap permintaan eksplisit bahwa bunga deposito bank yang dihasilkan, diperuntukkan bagi kepentingan pribadi dan pemanfaatannya bukan untuk kegiatan operasional pemerintah daerah atau tidak masuk kedalam kas daerah. Permintaan semacam ini jelas-jelas menyalahi aturan bank dan aturan pemerintah, dan juga melanggar Undang-Undang Tipikor, serta secara substantif tergolong ke dalam TPPU.
Pada umumnya bunga deposito dari hasil penempatan dana APBD di bank oleh kewenangan kepala daerah digunakan untuk keperluan pribadi. Dengan modus mengalihkan dananya ke keluarga (istri, anak atau kerabat) untuk menambah aset pribadi, membuat yayasan, juga mendirikan perusahaan-perusahan atas nama kepimilikan lain. Dalam kaitan hukum anti money laundering kegiatan ini sering disamarkan, dimana asal usul dana tersebut disembunyikan melalui jasa perbankan, asuransi, pasar modal, dan instrumen dalam lalu lintas keungan lainnya. Tindakan tersebut untuk menghindari kejanggalan pendapatan dan penggelembungan dana beserta aset yang dimiliki kepala daerah. Hal ini jelas ada tindakan pencucian uang (menempatkan, mengalihkan, dan menyembunyikan atau menyamarkan) yang dilakukan oleh kepala daerah.
Adapun tahapan identifikasi money laundering terhadap APBD yaitu: (1) Placement (Penempatan): penempatan dana APBD dalam deposito bank, dan pengalihan bunga deposito ke rekening organisasi/lembaga terkait; (2) Layering (Penyamaran): Penggunaan mekanisme “hibah” dan “bantuan sosial” melalui Peraturan Daerah, Pencairan dana secara tunai untuk memutus jejak audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Penggunaan multiple rekening pribadi, kerabat maupun organisasi; (3) Integration (Pengintegrasian): Penggunaan dana untuk kepentingan pribadi dan politik, Pembiayaan kampanye dan kegiatan partai.
Unsur untuk mengetahui terpenuhinya tindak pidana kejahatan asal (predcate crime) terdapat pada Pasal 3 UU TPPU, bahwa unsur “mengetahui” harta tersebut adalah hasil bunga deposito APBD yang berasal dari tindak pidana, maka terpenuhi karena: (1) Sebagai Kepala Daerah, wajib mengetahui ketentuan pengelolaan keuangan daerah; (2) Adanya red flags dalam mekanisme pengalihan dana; (3) Pola transaksi yang tidak wajar dan tidak sesuai prosedur.
Bahwa dari tahapan dan unsur tersebut, muncul tiga kriteria khusus predicate crime dalam pengelolaan keuangan daerah (APBD): (1) Adanya kewenangan yang disalahgunakan, yaitu kewenangan menempatkan dana di bank serta kewenangan menerbitkan peraturan daerah; (2) Adanya kerugian keuangan negara, yaitu bunga deposito yang tidak dikembalikan ke kas daerah dan dipergunakan untuk kepentingan prinadi, serta potensi pendapatan daerah yang hilang; (3) Adanya unsur perbuatan melawan hukum (PMH), yaitu pelanggaran prinsip anggaran bruto (gross budgeting), dan pelanggaran mekanisme APBD, serta pelanggaran peraturan pengelolaan keuangan daerah.
Oleh karena itu, korelasi antara APBD dan TPPU menjadi sangat kuat. Tindak pidana korupsi, yang ditandai dengan penyalahgunaan kewenangan oleh kepala daerah dalam mengelola APBD adalah sebagai kejahatan yang menjadi sumber dari dana atau yang kemudian dicuci melalui berbagai transaksi untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usulnya (predicate crime). Hasil dari korupsi dalam bentuk uang hasil bunga deposito penempatan dana APBD di bank yang disalahgunakan kemudian “dicuci” melalui sistem keuangan, sehingga menyulitkan pendeteksian dan pelacakan asal-usulnya. Penerapan UU TPPU dalam konteks pengelolaan dana APBD ditingkat kabupaten/kota dan provinsi menjadi sebuah keniscayaan untuk melindungi uang rakyat dan memastikan akuntabilitas keuangan daerah.
Perampasan aset (asset recovery) memiliki efek jera yang efektif dalam TPPU, karena sanksi ini menghilangkan motivasi finansial (deterrence effect) dengan menyita keuntungan ilegal, sehingga kejahatan tidak lagi menguntungkan. Efektivitas efek jera dari perampasan aset tidak hanya sekadar menyita kekayaan pelaku TPPU.
Mekanisme efektif selain penyitaan, yaitu: (1)Pemiskinan Pelaku: sebagai penerapan prinsip bahwa kejahatan tidak boleh memberi keuntungan (crime doesn’t pay), yang merupakan bentuk keadilan restoratif dan preventif spesifik. Sanksi ini secara langsung menargetkan hasil kejahatan, sehingga memutus kemampuan pelaku untuk menikmati hasil kejahatannya atau mendanai kegiatan kriminal berikutnya. Ini berbeda dengan hukuman penjara di mana pelaku mungkin masih memiliki aset yang dapat dinikmati setelah bebas;
(2)Mengganggu Organisasi Kriminal: Upaya hukum pidana untuk melakukan “follow the money” yang strategis, yang efektif melawan kejahatan terorganisir (organized crime) di mana hukuman penjara terhadap individu seringkali tidak mempengaruhi kelangsungan jaringan. Dalam konteks kejahatan terorganisir, perampasan aset dapat melumpuhkan seluruh jaringan kriminal dengan memotong aliran dana yang vital untuk operasional mereka, sehingga efek jeranya bersifat kolektif dan strategis.
Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat krusial, hal ini terdapat pada Pasal 1 angka 2 UU TPPU yang menyatakan PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Lembaga ini memiliki tugas dan fungsi terkait pengelolaan data dan informasi, analisis transaksi, serta pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor dalam upaya pemberantasan TPPU.
Terhadap dugaan Kepala Daerah sebagai pelaku TPPU, terdapat karakteristik unik di mana motif kerahasiaan dan upaya menyamarkan asal-usul dana (concealment) sering didahulukan dibandingkan pertimbangan ekonomis. Dalam rangka menangkal hal tersebut, PPATK dengan kewenangan analitis dan pengawasan yang dimilikinya berkompetensi untuk mendeteksi adanya pola-pola mencurigakan dalam arus kas APBD. Kapasitas ini terutama efektif dalam mengungkap praktik terkait penempatan dana pada deposito serta perpindahan hak atas bunganya, yang sering dijadikan modus operandi.
Pengelolaan APBD bukan hanya isu kebijakan fiskal semata, melainkan merupakan pertarungan melawan TPPU, dimana korupsi dari penyalahgunaan kewenangan Kepala Daerah terkait penempatan dana deposito dan pengalihan bunga bank, bertindak sebagai predicate crime yang sistemik. Hal ini menegaskan bahwa mekanisme perbankan dan lalu lintas keuangan sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyamarkan harta kekayaan ilegal. Langkah hukum yang paling efektif adalah penegakan UU TPPU secara holistik, yang didukung oleh peran krusial PPATK. Penindakan harus diakhiri dengan penerapan sanksi Perampasan Aset secara maksimal, yang tidak hanya memberikan efek jera dengan menghilangkan motivasi finansial, namun juga secara strategis memiskinkan pelaku dan melumpuhkan jaringan kriminal, sehingga mampu mengembalikan uang rakyat sekaligus menjamin akuntabilitas dan integritas keuangan daerah.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
